Nama ku Anisah, aku puteri tunggal dari seorang supir angkutan umum. Sedangkan ibuku adalah seorang buruh cuci di rumah ku yang reot juga tinggal bibi yang sangat ku cintai yang tak lain adalah adik kandung ayah. Bibi seorang sarjana psikolog tapikarena kanker darah yang dialaminya membuatnya harus terbaring lemah di tempat tidur selama bertahun-tahun.
Keluargaku sangat sederhana tetapi aku cukup bahagia dengan apa yang kumiliki, terutama karena malaikat yang ku miliki yang tiada lain ibundaku sendiri.
Bunda adalah seorang wanita penyabar ia cantik dan begitu mulia. Ia tak pernah keluar tanpa kerudung panjangnya. Suatu hari nanti aku ingin seperti bunda.
Setiap hari, kami bangun untuk shalat shubuh berjemaah, kemudian ayah berangkat mencari rezeki, sedangkan aku membantu bunda menimba air untuk mencuci pakaian-pakaian tetangga langganan bunda. Kami selalu bercanda dan tertawa bersama, bunda selalu mengajariku hal-hal baik. Bunda itu bidadariku, terkadang bunda membuat kue untuk di jajakan di sekolahku. Aku tak pernah malu, aku bangga punya bunda.
Suatu hari sepulang sekolah, aku mendengar bunda dan ayah sedang berbicara serius, aku pun mengintipnya dari celah-celah bamboo jendela rumahku, ternyata penyakit bibi semakin parah, bibi harus sering cuci darah, dari mana ayah dan bunda akan membiayainya? Dan bunda mengusulkan untuk ikut menjadi TKI di Saudi Arabia.
Ayah sudah berusaha melarang bunda tapi bunda lemah lembut terus meyakinkan ayah.
Aku menangis mendengar keputusan bunda, ku buka pintu perlahan-lahan lalu kupeluk bunda sambil memohon agar bunda membatalkan niatnya, tapi bunda hanya tersenyum dan menguatkanku, untuk tetap menjadi anak kebanggaannya.
Minggu depan bunda akan berangkat, tapi rasanya aku tak rela membiarkan bunda, tiap malam ku peluk bunda dan ku ciumi pipi dan keningnya. Kupandangi wajahnya dan ku usap-usap rambut bunda.
Andai saja bunda tahu persaanku, perasaan seorang anak kelas 4 SD yang masih terlalu dini dan membutuhkan bunda.
Hari yang kami harap tak kan pernah datang pun akhirnya tiba, hari itu aku dan ayah mengantarkan bunda ke bandara udara. Air mataku tak terbendung lagi, kupeluk bunda erat-erat, begitu pula dengan bunda, bunda memelukku dan mencium tangan ayah kemudian berpesan agar aku tetap menjadi anak yang sholeha dan tetap menjaga bibi hingga bibi sembuh. Kemudian bunda melambaikan tangannya ke arah kami dan kemudian berlalu.
Keesokan harinya, hari begitu berbeda, sejak tak ada bunda dunia ini tak lagi berwarna.
Sejak tak ada bunda juga, aku tak lagi bersemangat, tapi aku harus menjalaninya. Aku berusaha tegar. Semua demi bunda.
Tetapi semenjak bunda tak ada, nilai-nilaiku menanjak pesat aku selalu mendapat peringkat pertama.
Dan aku selalu memberitahu bunda setiap bunda menelpon ku. Bunda selalu bangga dan terus memberiku semangat.
Setiap bulan bunda selalu mengirim uang untuk kami dan uang itu kami pergunakan untuk pengobatan bibi dan memperbaiki rumah. Hingga keadaan bibi semakin membaik dan rumah kami pun kini sudah layak untuk dihuni. Sungguh besar perjuangan bunda.
Tahun terus berganti, aku pun mulai beranjak dewasa. Aku sudah menduduki bangku SMA. Prestasiku semakin meningkat bahkan aku adalah satu-satunya siswi yang mendapat penghargaan dari Gubernur karena aku mendapat nilai akhir sekolah sekalian NEM tertinggi di kota bahkan provinsi ini.
Ayah sangat bangga padaku, begitu pula bunda dan bibi, semua tetangga ku juga sangat menghormati ku. Aku bersyukur sekali.
Pada suatu hari ayah mendapat surat panggilan dari pihak sekolah dan itu kelihatan berbeda dengan surat-surat panggilan sebelumnya. Aku begitu khawatir, surat apa sebenarnya. Apa aku melakukan kesalahan? Kenapa ya ayah di panggil pikirku.
Pada hari yang ditentukan akhirnya ayah datang. Selama lebih kurang 1 jam ayah di ruang kepala sekolah. Aku begitu cemas tak lama kemudian ayah keluar ia membawa sebuah amplop.
Ayah menghampiriku dan mencium jilbabku. Ia memelukku erat-erat. Satu kalimat yang terucap dari bibir ayah. “Ayah bangga padamu, nak!” “ada apa sebenarnya ayah?” tanyaku.
“kamu terpilih menjadi siswi terbaik dan akan di kirim ke Negara Yunani, untuk pertukaran pelajar di sana nak!”
“benarkah, ayah?” balasku, “iya nak” jawab ayah.
Aku bersujud di tempat aku berdiri dan aku tak sabar ingin memberitahunya kepada bunda.
Seiring berjalannya waktu, semakin bertambah pula rasa rinduku pada bunda, rindu ini telah mendarah daging, dan selalu menderu dalam tiap kali aku mendengar suara bunda dari telepon.
Malam itu bunda kembali menelpon kami dan aku pun memberi tahu kabar gembira itu pada bunda, bunda berulang-ulang kali mengucap syukur.
Setelah asyik bercakap-cakap bundapun memberi tahu bahwa ia akan kembali ke tanah air satu minggu lagi. Aku begitu kaget. Bunda, apa tidak bisa lebih awal lagi, aku ingin bertemu bunda sebelum ikut pertukaran pelajar itu, kenapa bunda pulang dua hari setelah aku berangkat. Itu tidak adil!. “bunda aku batalkan saja keberangkatan ku, aku tidak ingin melewatkan waktu untuk menanti kehadiran bunda.” Ucapku pada bunda. Tetapi bunda malah terus menyemangatiku dan terus mendorongku agar aku tetap berangkat, satu kalimat yang membuatku tak bisa menolak bunda.
“berangkatlah nak, buat orang tua mu ini bangga, demi ayah dan bunda.”
“baiklah bunda, Anisa akan menjadi yang terbaik, tapi bunda janji ya, bunda harus tunggu Nisa kembali” jawabku.
Dan bunda menjawab “Bunda selalu menanti mu nak” dan aku cukup puas dengan jawaban bunda.
Hari keberangkatan ku pun tiba, aku diantar oleh ayah dan bibi, tetapi aku masih ragu. Aku bertanya pada ayah sekali lagi, “ayah, apa seharusnya ku batalkan saja keberangkatan ini, aku ingin menjemput bunda besok.”
Ayah menjawab “tidak nak, kau harus tetap berangkat, wujudkan mimpimu nak, jadilah anak kebanggaan kami.”
Dengan berat hati aku berangkat, ku cium tangan ayah dan bibi lalu mengambil bangku di pesawat. Kulambaikan tangan ke arah ayah dan bibi dengan senyum terpaksa. Tak lupa aku berteriak kepada ayah “ayah telepon Nisa jika bunda tiba!” lalu ayah pun mengangguk.
Di pesawat, aku mulai membiasakan diri bergaul dengan siswa berprestasi lain. Mereka hebat dan jenius.
Dalam hati yang paling dalam sebenarnya aku canggung dan minder karena mereka berasal dari keluarga yang mampu dan berangkat dengan bergaya ala Eropa karena kami menuju Yunani.
Setibanya di Inggris pesawat kami transit lagi ke Yunani. Di Yunani kami di fasilitasi kamar hotel dan makan-makanan mewah. Sungguh aku tak pernah menyangka akan mengalami ini semua. Tak terbayang seorang anak supir angkot bisa melangkahkan kaki di Negara semaju ini.
Sebulan di Yunani aku mendapatkan pengalaman berharga dan juga berkesan. Aku juga mendapat penghargaan sebagai siswa terbaik dalam ajang itu. Subahanalllah, sungguh besar karunia yang kurasakan ini, aku tak sabar ingin menceritakan semuanya pada bunda, ayah dan bibi nanti.
Minggu depan aku akan kembali ke Indonesia, aku benar-benar tak sabar ingin memeluk dan menciumi bunda. Setiap malam aku membayangkannya. Rinduku benar-benar tak terbendung lagi.
Setelah penutupan acara, akhirnya kami pun siap berangkat ke Indonesia jantungku berdegup kencang. Entah apalah yang terjadi pada keluargaku, tapi mungkin itu hanya perasaanku saja.
Sesampainya di tanah air, semua keluarga peserta sudah menunggu kedatangan anak-anaknya. Tetapi tidak dengan ku, aku begitu kesal aku benci kepada keluarga ku, mengepa mereka begini, apa mereka sudah tidak memperdulikan ku lagi, aku menaiki taksi dan menenteng dua koper besar dan menuju ke rumah dengan perasaan kesal.
Sesampainya di gang rumah, suasana begitu sunyi, tak seperti biasanya kemana orang-orang di sekitar rumahku ini? Pikirku. Aku terus menelusuri jalan setapak demi setapak. Setibanya di rumah tetanggaku ada bendera merah tertancap. Jantungku berdegup semakin kencang, ada apa ini sebenarnya, aku berlari ke dalam rumah, banyak orang berlalu lalang dan membacakan surah Yasin di depan seorang jenazah. Siapa yang meninggal, apa bibi? Tapi bibi sudah membaik, aku benar-benar penasaran.
Semua tetangga melihatku, datang mendekatiku dan memelukku, mereka mengatakan, “sabar ya Nisa, ini semua cobaan nak!” “ada apa sebenarnya bu” tanyaku pada mereka. Tapi mereka hanya diam.
Di ruang tamu ku lihat ayah dan bibi menangis, aku semakin penasaranm siapa yang dihadapan semua orang ini?
Ayah datang menghampiriku dan memelukku, “Nisa kamu harus kuat nak” pesan ayah untukku. “siapa yang meninggal ayah?” tanyaku. Tapi ayah hanya mengusap kepalaku. Aku berjalan menuju jenazah itu, ku amati rambut dan keningnya, kemudian aku tak sadar lagi.
Tak lama kemudian aku tersadar, bibi menyambutku dengan pelukan, “Nisa, jangan menangis lagi nak,” ucapnya padaku. Aku menjerit, bunda …!!! Ku hampiri lagi jenazah bunda, aku menangis meratapi bunda yang tak bernyawa lagi. Musnah semua harapanku untuk bercerita pada bunda, semua orang bersedih melihatku.
“bunda, bangun bunda!”
“bunda, bangun, buka mata bunda, bunda” ucapku pada jenazah itu. Ayah datang memelukku. Kupukuli dada ayah. Ini semua karena ayah, kenapa ayah memaksaku berangkat!
“kuatkan hatimu nak” kata ayah.
Setelah shalat dzuhur, kami semua menuju pemakaman, aku tak rela bunda di kuburkan. Aku belum puas menatapi wajah bunda. Aku seperti orang yang hilang arah tanpa tujuan. Hidupku bagai tak ada maknanya lagi.
Tiga hari setelah kepergian bunda, bibi memberiku sebuah bingkisan, “bunda menitipkan ini untuk mu nisa” kata bibi.
Ku buka bingkisan itu, ada sebuah album biru, album itu berisi foto-foto kecilku dan juga foto-foto bunda. Di dalamnya juga ada surat yang berisi,
Untuk anak ku
Annisa Divhya
Annisa, anakku tersayang, maafkan jika bunda tidak dapat menepati janji untuk kembali untuk nisa saat ini. Tapi ingatlah nak bunda selalu ada di hatimu.
Pesan bunda untukmu, jadilah anak kebanggaan kami, dan jagalah bibi mu. Teruslah berbakti kepada ayahmu nak. Dan kita akan bertemu dan bersama selamanya kelak.
Bunda mu
Aisyah Nurjannah
Membaca surat itu air mataku jatuh tak terbendung lagi, aku harus kuat. Jika aku bersedih, bunda juga pasti bersedih aku akan memulai semuanya. Aku akan terus membanggakan bunda.
hikz . . . hikz . . .
BalasHapus